Perpustakaan: Tempat Paling Angker di Sekolah?
Perpustakaan: Tempat Paling Angker di Sekolah?
Hehe, judulnya kelihatan angker, ya? Tetapi itulah kenyataan yang selama ini saya temui. Dan mungkin pendapat ini juga diamini oleh mereka yang masih duduk di bangku sekolah. Sebelum kita ketahui apa penyebabnya, mari kita lihat bersama apa kebiasaan mereka yang sekarang ini berpredikat sebagai siswa maupun mahasiswa.
Perpustakaan, dimana tujuan semula bangunan ini didirikan, adalah sarana yang menunjang kebutuhan siapapun yang memasukinya dalam hal literatur, pengayaan informasi, rekreasi berbasis edukasi, serta pengerjaan tugas. Tetapi kini, tidak ada yang benar-benar rajin ke perpustakan selain petugas kebersihan dan pustakawan yang bertugas. Hanya Silverfish dan rayap yang setia mengerubuti buku. Sementara orang-orang sibuk berlalu lalang di sekitar perpustakaan, lebih memilih taman ataupun kantin sebagai tempat nongkrong. Atau jika ada yang berniat masuk ke perpustakaan, itu karena perpustakaan telah dialihfungsikan sebagai tempat kencan, mengingat ruangannya yang terkenal bersih dan tenang.
Berikut ini saya cantumkan beberapa kendala yang kerap terjadi dalam dunia perbukuan dan di perpustakaan:
1. Harga kertas semakin mahal. Imbasnya kepada harga buku yang terus naik, tak terjangkau oleh pembaca buku.
2. Harga buku yang mahal berjangkit pada minimnya pengadaan buku baru di perpustaan.
3. Kalau koleksi buku yang tersedia di perpustakaan hanya buku lawas, siapa yang berminat membacanya? Orang jaman sekarang paling malas berurusan dengan buku berdebu.
4. Karena perbendaharaan buku di perpustakaan tidak lengkap, dan siswa tidak menemukan literatur yang dibutuhkan, mereka akan kapok datang lagi ke Perpustakaan.
5. Kurangnya kegiatan outdoor yang melibatkan perpustakaan atau tugas yang bahan pengerjaannya harus berasal dari perpustakaan.
6. Perpustakaan umum di tiap kabupaten letaknya di pusat kota. Nasib anak-anak di perkampungan tidak dapat menikmati fasilitas tersebut. Setiap hari hanya bermain layang-layang di sawah.
7. Gemar membaca buku bukan berarti ia mencintai buku. Tidak jarang ia suka menyiksa buku, membacanya dengan kasar, kumal, lecek sana-sini, atau bahkan halamannya tercerabut dari jilidnya. Yang lebih parah itu adalah buku pinjaman. Yang empunya buku akhirnya menerima buku yang dipinjam sahabatnya itu dengan muka masam. Dipikirnya buku itu sekali baca lalu selesai. Padahal buku adalah warisan paling berharga melebihi emas permata.
8. Kleptomania adalah musuh utama bagi perpustakaan. Buku yang dipinjam tidak pernah dikembalikan, melihat bahwa itu buku langka yang sudah tidak dicetak lagi, serta mengetahui bahwa ia tidak pernah sanggup membelinya. Pengunjung berikutnya akhirnya kecewa karena tidak menemukan buku yang dicarinya, karena buku tersebut telah tersimpan rapi di rak buku koleksi si maling.
9. Musuh berikutnya adalah para clipper. Yakni orang-orang yang gemar sekali menggunting gambar, artikel, atau merobek halaman buku yang dirasa memiliki informasi penting guna menunjang tugasnya dalam membuat kliping atau tugas lainnya.
10. Para siswa sudah sangat malas untuk melakukan tugas mencatat di kelas. Lalu apa yang dibaca kalau catatan saja tidak punya?
11. Berdasarkan pengalaman pribadi, saya akan lebih bersemangat menulis jika pada saat itu saya sedang tidak berhadapan dengan internet, atau hanya memiliki gadget jadul sekelas Nokia 3310. Akan tetapi jika saya sedang memegang gadget canggih, saya hanya akan menyibukkan diri dengan browsing dan membuka berbagai akun media sosial. Sementara buku disekitar saya, mendadak tak tersentuh apalagi terbaca.
12. Agaknya kemungkinan itu pula yang mendasari bahwa pelajar lebih suka nongkrong di warnet ketimbang di perpustakaan.
13. Para penerbit saling berlomba untuk menjual buku dengan harga selangit. Apalagi jika ia adalah penerbit mayor yang sudah memiliki nama. Pun harga buku sastra juga berlaku sama. Sebagai contoh, buku antologi puisi karya penyair kenamaan dibandrol seharga 300 ribu. Novel-novel terjemahan mulai dari harga 100 ribu. Pada akhirnya buku berkualitas hanya dapat dinikmati oleh mereka yang berkantong tebal.
14. Event Book Fair atau semacam pesta buku hanya digelar di kota besar. Bahkan momen diskon buku murah pun hanya bisa dinikmati oleh mereka yang hidup di kota.
Solusinya? Oh, betapa kasus ini adalah bencana nasional. Pemerintah harus memperhatikan masalah serius agar harapan pemerataan pendidikan atau yang bersifat edutainment melalui buku dan perpustakaan dapat terwujud dengan sukses.
Hehe, judulnya kelihatan angker, ya? Tetapi itulah kenyataan yang selama ini saya temui. Dan mungkin pendapat ini juga diamini oleh mereka yang masih duduk di bangku sekolah. Sebelum kita ketahui apa penyebabnya, mari kita lihat bersama apa kebiasaan mereka yang sekarang ini berpredikat sebagai siswa maupun mahasiswa.
Perpustakaan, dimana tujuan semula bangunan ini didirikan, adalah sarana yang menunjang kebutuhan siapapun yang memasukinya dalam hal literatur, pengayaan informasi, rekreasi berbasis edukasi, serta pengerjaan tugas. Tetapi kini, tidak ada yang benar-benar rajin ke perpustakan selain petugas kebersihan dan pustakawan yang bertugas. Hanya Silverfish dan rayap yang setia mengerubuti buku. Sementara orang-orang sibuk berlalu lalang di sekitar perpustakaan, lebih memilih taman ataupun kantin sebagai tempat nongkrong. Atau jika ada yang berniat masuk ke perpustakaan, itu karena perpustakaan telah dialihfungsikan sebagai tempat kencan, mengingat ruangannya yang terkenal bersih dan tenang.
Berikut ini saya cantumkan beberapa kendala yang kerap terjadi dalam dunia perbukuan dan di perpustakaan:
1. Harga kertas semakin mahal. Imbasnya kepada harga buku yang terus naik, tak terjangkau oleh pembaca buku.
2. Harga buku yang mahal berjangkit pada minimnya pengadaan buku baru di perpustaan.
3. Kalau koleksi buku yang tersedia di perpustakaan hanya buku lawas, siapa yang berminat membacanya? Orang jaman sekarang paling malas berurusan dengan buku berdebu.
4. Karena perbendaharaan buku di perpustakaan tidak lengkap, dan siswa tidak menemukan literatur yang dibutuhkan, mereka akan kapok datang lagi ke Perpustakaan.
5. Kurangnya kegiatan outdoor yang melibatkan perpustakaan atau tugas yang bahan pengerjaannya harus berasal dari perpustakaan.
6. Perpustakaan umum di tiap kabupaten letaknya di pusat kota. Nasib anak-anak di perkampungan tidak dapat menikmati fasilitas tersebut. Setiap hari hanya bermain layang-layang di sawah.
7. Gemar membaca buku bukan berarti ia mencintai buku. Tidak jarang ia suka menyiksa buku, membacanya dengan kasar, kumal, lecek sana-sini, atau bahkan halamannya tercerabut dari jilidnya. Yang lebih parah itu adalah buku pinjaman. Yang empunya buku akhirnya menerima buku yang dipinjam sahabatnya itu dengan muka masam. Dipikirnya buku itu sekali baca lalu selesai. Padahal buku adalah warisan paling berharga melebihi emas permata.
8. Kleptomania adalah musuh utama bagi perpustakaan. Buku yang dipinjam tidak pernah dikembalikan, melihat bahwa itu buku langka yang sudah tidak dicetak lagi, serta mengetahui bahwa ia tidak pernah sanggup membelinya. Pengunjung berikutnya akhirnya kecewa karena tidak menemukan buku yang dicarinya, karena buku tersebut telah tersimpan rapi di rak buku koleksi si maling.
9. Musuh berikutnya adalah para clipper. Yakni orang-orang yang gemar sekali menggunting gambar, artikel, atau merobek halaman buku yang dirasa memiliki informasi penting guna menunjang tugasnya dalam membuat kliping atau tugas lainnya.
10. Para siswa sudah sangat malas untuk melakukan tugas mencatat di kelas. Lalu apa yang dibaca kalau catatan saja tidak punya?
11. Berdasarkan pengalaman pribadi, saya akan lebih bersemangat menulis jika pada saat itu saya sedang tidak berhadapan dengan internet, atau hanya memiliki gadget jadul sekelas Nokia 3310. Akan tetapi jika saya sedang memegang gadget canggih, saya hanya akan menyibukkan diri dengan browsing dan membuka berbagai akun media sosial. Sementara buku disekitar saya, mendadak tak tersentuh apalagi terbaca.
12. Agaknya kemungkinan itu pula yang mendasari bahwa pelajar lebih suka nongkrong di warnet ketimbang di perpustakaan.
13. Para penerbit saling berlomba untuk menjual buku dengan harga selangit. Apalagi jika ia adalah penerbit mayor yang sudah memiliki nama. Pun harga buku sastra juga berlaku sama. Sebagai contoh, buku antologi puisi karya penyair kenamaan dibandrol seharga 300 ribu. Novel-novel terjemahan mulai dari harga 100 ribu. Pada akhirnya buku berkualitas hanya dapat dinikmati oleh mereka yang berkantong tebal.
14. Event Book Fair atau semacam pesta buku hanya digelar di kota besar. Bahkan momen diskon buku murah pun hanya bisa dinikmati oleh mereka yang hidup di kota.
Solusinya? Oh, betapa kasus ini adalah bencana nasional. Pemerintah harus memperhatikan masalah serius agar harapan pemerataan pendidikan atau yang bersifat edutainment melalui buku dan perpustakaan dapat terwujud dengan sukses.
Komentar
Posting Komentar